Manusia tidak pernah lepas dari ujian, cobaan, rintangan, dan beban hidup yang datang silih berganti. Terkadang masalah datang tiba-tiba, tanpa permisi, menyeruak dalam kehidupan dengan berbagai bentuk. Ada yang berupa kesulitan ekonomi, ada pula yang dalam bentuk penyakit, kegagalan, konflik rumah tangga, atau tekanan batin yang tak kasat mata. Dalam situasi seperti ini, tidak sedikit orang merasa terpuruk, kehilangan arah, bahkan putus asa. Namun Islam, sebagai agama yang sempurna, telah memberikan petunjuk yang sangat jelas tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim ketika diterpa ujian.
Di saat problematika menghimpit dada dan kesulitan menghujam jiwa, seorang mukmin hendaknya tidak langsung panik atau gusar. Sebaliknya, Islam mengajarkan untuk menenangkan hati, menundukkan ego, serta segera kembali kepada Allah melalui doa yang tulus. Doa bukan hanya sekadar permintaan, melainkan bentuk penghambaan, tanda ketergantungan, dan wujud kerendahan seorang hamba di hadapan Sang Maha Kuasa. Maka tidak heran jika Nabi Muhammad ﷺ senantiasa berdoa dalam setiap keadaan, baik saat lapang maupun sempit.
Dalam salah satu hadist riwayat Abu Daud, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dilanda kesedihan atau kesulitan lalu berdoa dengan doa ini: ‘Allahumma inni ‘abduka, ibnu ‘abdika, ibnu amatika, nashiyati biyadika, madhin fiyya hukmuka, ‘adlun fiyya qadha’uka…’ maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dan menggantikan dengan kegembiraan.” Hadist ini menunjukkan bahwa doa bukan sekadar permohonan yang lahir dari bibir, tetapi juga sarana penyembuhan yang ampuh bagi luka-luka jiwa yang tak terlihat.
Lebih dari itu, doa juga merupakan pengakuan atas kelemahan kita sebagai makhluk yang serba terbatas. Dalam realita kehidupan, kita kerap kali merasa mampu menyelesaikan segala persoalan dengan logika dan usaha semata. Namun kenyataannya, tidak semua hal dapat diselesaikan dengan strategi atau kekuatan fisik. Terdapat situasi-situasi di mana hanya kekuatan spiritual yang dapat memberi solusi. Di sinilah pentingnya doa, sebagai media untuk mendekat, berserah, dan menggantungkan harapan sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala sendiri telah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 186, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku…” Ayat ini sangat kuat maknanya, menyiratkan bahwa setiap doa yang dilantunkan dengan tulus, meskipun dalam hati tanpa suara, akan sampai kepada-Nya. Maka mengapa kita masih enggan untuk berdoa ketika diterpa musibah?
Seseorang yang sedang berada dalam masalah biasanya cenderung mencari tempat bersandar. Ia mencari pundak untuk menangis, telinga untuk mendengar keluh kesah, dan pelukan yang menenangkan. Namun, sering kali manusia lupa bahwa tempat paling kokoh untuk bersandar adalah Allah. Dia tidak pernah tidur, tidak pernah lalai, dan senantiasa membuka pintu-Nya bagi siapa saja yang mengetuk-Nya. Dalam sebuah hadist qudsi, Allah berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Jika ia meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikannya.”
Maka ketika masalah menghampiri, jangan ragu untuk memanjatkan doa. Biarkan air mata mengalir sambil menyebut nama-Nya. Biarkan hati yang gundah itu kembali tenang dengan lafadz yang penuh harap. Doa tidak selalu harus dalam bahasa Arab atau lafadz yang panjang. Bahkan doa yang paling sederhana seperti, “Ya Allah, tolong aku,” jika diucapkan dengan keikhlasan yang mendalam, memiliki kekuatan yang luar biasa.
Keikhlasan dalam berdoa menjadi kunci utama. Bukan panjangnya doa yang menentukan dikabulkan atau tidak, melainkan seberapa dalam kebergantungan kita kepada Allah. Ketika seseorang bersimpuh di atas sajadah, menengadahkan tangan, dan mengakui seluruh kelemahannya, maka saat itu pula ia sedang membuka pintu pertolongan langit. Inilah yang disebut dalam bahasa Arab sebagai tadarru’, yakni ketundukan hati yang sepenuhnya.
Masalah datang bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mengingatkan dan menguatkan. Maka jadikan doa sebagai pelita di tengah kegelapan. Jadikan setiap sujud sebagai ruang komunikasi dengan Tuhan, tempat mencurahkan segalanya tanpa malu, tanpa ragu, tanpa batas. Sebab Allah tidak pernah jenuh mendengar doa hamba-Nya. Bahkan dalam hadist riwayat Tirmidzi, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada yang lebih mulia di sisi Allah selain doa.”
Seseorang mungkin berkata bahwa ia telah lama berdoa namun belum juga melihat hasilnya. Ia mengeluh bahwa harapan yang ditanam belum berbuah, seolah langit tak lagi mendengar. Namun ketahuilah, bahwa Allah bukan tidak mendengar, tetapi Dia Maha Bijaksana dalam mengatur waktu terbaik. Bisa jadi, permintaan kita belum dikabulkan karena ada sesuatu yang lebih baik yang tengah disiapkan. Atau mungkin, Allah ingin melihat kesungguhan dan keistiqamahan kita dalam memohon.
Terkadang, tidak dikabulkannya doa secara langsung adalah bentuk kasih sayang dari Allah. Dalam hadist riwayat Ahmad, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan silaturahim, kecuali Allah akan memberinya satu dari tiga hal: dikabulkan segera, disimpan untuk akhiratnya, atau dihindarkan dari keburukan yang setara.” Maka doa tidak pernah sia-sia, tidak ada yang mubazir dalam doa.
Bersabarlah dalam doa, karena kesabaran adalah bagian dari iman. Jangan mengukur kekuatan doa dari cepat atau lambatnya jawaban, tapi lihatlah dari seberapa besar keyakinan dan tawakal kita. Jika seseorang mengeluh karena masalah, maka perbanyaklah doa. Jika seseorang merasa resah karena tekanan hidup, maka perbanyaklah doa. Jika seseorang tak tahu lagi kepada siapa harus bergantung, maka perbanyaklah doa. Karena doa adalah penguat jiwa, penyejuk hati, dan penopang iman.
Doa juga menjadi pengingat bahwa kita tidak sendiri. Di balik semua ujian, ada Allah yang Maha Mendengar. Di tengah derita, ada Allah yang Maha Menolong. Di antara air mata, ada Allah yang Maha Mengetahui. Maka jangan pernah meremehkan kekuatan satu doa, meski pendek, meski lirih, meski tanpa kata-kata indah. Sebab Allah menilai keikhlasan, bukan kefasihan. Allah melihat kedalaman hati, bukan panjangnya bacaan.