Mengapa Musyawarah Jadi Pertanda Hidup Rukun

Mengapa musyawarah jadi pertanda hidup rukun merupakan pernyataan yang merefleksikan esensi hubungan sosial dalam Islam. Musyawarah tidak hanya menjadi sarana pengambilan keputusan, namun lebih dari itu, ia adalah lambang keharmonisan dan kebersamaan. Dalam kehidupan bermasyarakat, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan tidak terelakkan. Namun, ketika suatu kelompok mampu duduk bersama, bertukar pikiran, dan mencapai kesepakatan tanpa paksaan, di situlah letak keindahan dari musyawarah.

Islam memandang musyawarah sebagai prinsip penting yang perlu diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Bahkan dalam urusan yang besar sekalipun, Rasulullah ﷺ diperintahkan oleh Allah untuk bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159). Ayat ini menggarisbawahi bahwa musyawarah adalah mekanisme yang mendahului keputusan, yang kemudian dilanjutkan dengan tawakal kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara usaha manusia dan kepercayaan terhadap ketetapan Ilahi.

Musyawarah adalah bentuk penghormatan terhadap pendapat dan martabat setiap individu. Ketika seseorang diberi kesempatan untuk menyuarakan pikirannya, maka ia akan merasa dihargai dan memiliki kontribusi dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini akan menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dan mencegah munculnya perpecahan. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi musyawarah, akan tumbuh rasa saling percaya, solidaritas, serta semangat gotong royong.

Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak akan menyesal orang yang beristikharah kepada Allah dan bermusyawarah dengan manusia.” Hadis ini menegaskan pentingnya menggabungkan dua dimensi keputusan, yaitu spiritual melalui istikharah dan sosial melalui musyawarah. Rasulullah sendiri adalah teladan utama dalam mempraktikkan musyawarah. Beliau tidak pernah merasa paling benar sendiri, bahkan dalam peperangan seperti Perang Uhud, beliau mendengar pendapat para sahabat muda meskipun akhirnya keputusan tersebut membawa ujian. Namun, dari situ kita belajar bahwa proses musyawarah lebih utama daripada hasil semata.

Musyawarah juga melatih kesabaran dan keterbukaan hati. Dalam berdiskusi, tidak semua orang akan sepakat dengan pandangan kita. Tapi ketika kita mampu mendengarkan dan menerima perbedaan, maka akan tumbuh pemahaman yang lebih luas. Inilah yang menjadi pondasi hidup rukun. Rukun bukan berarti semua harus seragam, tapi bagaimana perbedaan bisa dirajut menjadi kekuatan bersama.

Budaya musyawarah menjauhkan masyarakat dari praktik otoritarianisme dan kediktatoran. Ketika keputusan hanya ditentukan oleh satu orang tanpa melibatkan yang lain, maka potensi kesalahan akan lebih besar. Sebaliknya, keputusan yang diambil melalui diskusi bersama akan lebih matang, karena mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Dengan demikian, musyawarah melatih masyarakat untuk berpikir kritis dan bertanggung jawab terhadap keputusan bersama.

Dalam keluarga pun, musyawarah memegang peranan penting. Ketika ayah dan ibu melibatkan anak-anak dalam perbincangan rumah tangga, maka mereka akan belajar untuk mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain. Ini akan membentuk karakter anak menjadi pribadi yang bijaksana dan demokratis sejak dini. Suasana rumah yang penuh dialog akan menjadi ladang tumbuhnya kasih sayang dan pengertian yang mendalam antar anggota keluarga.

Di lingkungan kerja dan organisasi, musyawarah membantu menyatukan visi dan misi agar berjalan ke arah yang sama. Konflik yang muncul bisa diselesaikan dengan kepala dingin apabila ada ruang untuk berbicara dan mendengar. Pemimpin yang bijak adalah mereka yang mau menerima kritik dan saran dari bawahannya. Hal ini menunjukkan bahwa musyawarah bukan hanya kewajiban, tapi kebutuhan yang harus dipenuhi demi kemajuan bersama.

Musyawarah juga mendidik umat untuk bersikap adil dan tidak egois. Dalam proses diskusi, setiap orang belajar untuk tidak memaksakan kehendak dan mempertimbangkan manfaat bagi orang banyak. Ini sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika kebijakan publik dibuat melalui dialog antar pihak yang berbeda pandangan, maka hasilnya akan lebih diterima oleh masyarakat karena merangkul berbagai kepentingan.

Musyawarah menciptakan ruang damai dalam interaksi sosial. Ia menjadi jalan untuk menurunkan ego dan menumbuhkan empati. Tidak ada pihak yang merasa dikalahkan, karena hasil musyawarah adalah hasil kolektif. Di sinilah letak keistimewaan musyawarah sebagai sarana pemersatu. Dalam masyarakat yang penuh keberagaman, hanya dengan musyawarah keharmonisan bisa dijaga dan dirawat.

Musyawarah menjadi alat penyelesai masalah tanpa kekerasan. Dalam Islam, segala bentuk kekerasan dan pemaksaan pendapat sangat dikecam. Allah memerintahkan untuk menggunakan hikmah dan nasihat yang baik dalam menyampaikan kebenaran. Ini sejalan dengan semangat musyawarah yang mengedepankan logika dan hati nurani, bukan emosi dan paksaan. Oleh karena itu, musyawarah menjadi simbol peradaban yang maju dan manusiawi.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, musyawarah mengajarkan kita untuk melambat sejenak, mendengar dengan hati, dan memutuskan dengan bijak. Tidak semua hal harus ditentukan secara sepihak atau tergesa-gesa. Musyawarah mengajarkan proses, dan dari proses itu tumbuhlah kesadaran kolektif yang menjadi landasan persatuan. Maka, mengapa musyawarah jadi pertanda hidup rukun, jawabannya ada pada nilai-nilai luhur yang dikandungnya: saling mendengarkan, menghormati perbedaan, dan mengambil keputusan bersama untuk kebaikan bersama.

Dalam konteks dakwah, para da’i dan ulama juga diharapkan tidak berjalan sendiri, melainkan saling bermusyawarah dalam menyampaikan ajaran. Ini penting agar dakwah tidak menjadi sumber perpecahan, tetapi menjadi cahaya penerang yang mempersatukan. Sebab itu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan, maka apabila kalian berselisih, hendaklah kalian ikut suara mayoritas.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menekankan pentingnya konsensus dalam menjaga kebenaran dan persatuan.

Dengan demikian, musyawarah bukan hanya alat sosial, tetapi juga ibadah. Ia menjadi wujud dari akhlak mulia dan kecintaan terhadap perdamaian. Ia menjadi cermin dari umat yang dewasa dan bertanggung jawab. Maka dari itu, marilah kita terus menanamkan semangat musyawarah dalam setiap aspek kehidupan, agar tercipta masyarakat yang rukun, adil, dan penuh berkah.

Youtube YBUN

Anak-anak Penghafal Alquran 30 Juz

Berita Terbaru